
PKS TEBET - Dua buah kata yang kadang bersatu akan tetapi memiliki makna yang berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Citra : gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Sedangkan Rasa : tanggapan hati terhadap sesuatu. Citra terkait dengan sesuatu yang terlihat secara fisik/eksternal, sedangkan rasa terkait dengan sesuatu yang ‘terlihat’ melalui hati/internal.
Jika melihat seorang yang mewakili pribadi/organisasi/perusahaan datang kepada kita maka dua kata ini akan menilai. Citranya akan terlihat dari penampilan berupa pakaian, kendaraan, wajah, dsb. Sedangkan rasanya akan berdampak pada hati melalui kesantunan, penghargaan, kontribusi, dsb.
SBY sebelum 2010 memiliki citra sekaligus rasa yang berkesan di hati penduduk Indonesia. Tapi sekarang sebagian mereka merasa bahwa SBY hanya mampu men-citra-kan dirinya dengan hal-hal positif tetapi sejatinya banyak hal yang tidak sesuai dengan citra selama ini. Sehingga orang saat ini membenci (atau setidaknya tidak menyukai) pribadi / organisasi / perusahaan yang hanya melakukan pencitraan tanpa adanya realisasi.
Tetapi di saat yang sama Jokowi juga tampil dengan citra yang hampir mirip dari sisi keberhasilan, merakyat, ‘jawa’, dsb. walaupun agak berbeda dari latar belakang karirnya. Padahal jika dilihat secara keseluruhan Jokowi dan Solo tidak se-hebat citra yang diblow-up oleh media dan iklan lainnya.
Citra seseorang / organisasi / perusahaan dapat ditingkatkan melalui berbagai macam hal, salah satu yang terefektif adalah iklan. Baik melalui media cetak, elektronik, social (socmed), atau bahkan iklan ‘zaman primitif’ dari mulut ke mulut (pembicaraan orang-orang). Citra yang diblow-up terus menerus akan menyebabkan hati terpengaruhi. Sehingga rasa akan bangkit dan orang lain akan merasakan citra seseorang/organisasi/perusahaan tersebut. Dan iklan merupakan sesuatu yang bergantung kepada materi. Dan menciptakan rasa melalui citra membutuhkan materi yang tidak sedikit.
Di dalam taujihnya di Mukernas Makassar, Ust. Anis Matta juga banyak menyinggung tentang rasa. Apakah rasa juga bisa diciptakan tanpa membangun citra ? Insya Allah bisa, karena rasa bergantung kepada hati. Dan hati tergantung kepada yang membolak-balikkannya. Dan yang dapat mempersatukan hati hanyalah Allah SWT :
dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. (Al Anfaal : 63)
Sehingga RASA akan lebih memiliki goresan yang lebih dalam dibandingkan sentuhan CITRA.
PKS sebagai sebuah partai/organisasi dakwah dan kader sebagai da’I akan mengandalkan rasa yang timbul karena citra atau rasa yang timbul dari hati ? Insya Allah sebagian kita akan menjawab “rasa yang timbul dari hati”.
Pertanyaan berikutnya apakah kita hanya berharap hati ini ditautkan, tanpa mencoba ‘turun’ ke masyarakat agar mereka langsung merasakan seperti apa hidup bersama PKS dan kader-kadernya ?
Parameter sederhana untuk mengetahui ‘rasa’ PKS dan kader-kadernya adalah cukup dengan menanyakan kepada masyarakat bagaimana pendapat mereka tentang PKS ? Apabila mereka mengatakan kader PKS sholih/ah, sering ke masjid maka itu “Bersih”. Kalau kader PKS selalu terdepan menolong saat bencana, sering mengadakan bakti social/kegiatan charity maka itu “Peduli”. Tapi kalau kader PKS memberikan solusi terhadap masalah lingkungan, membantu memberi akses kemudahan terhadap masalah masyarakat, berprestasi di masyarakat umum dan dapat dirasakan manfaatnya sebagai pejabat public (Legislatif, eksekutif bahkan sampai tingkat RW/RT) maka itu “Profesional”.
Sebagian masyarakat kita menganggap orang yang Bersih cukup sebagai ustadz/kiai/guru ngaji, dll. Orang yang peduli cukup sebagai orang yang aktif di yayasan, lingkungan masyarakat, dsb. Tetapi sebagai seorang aleg, kepala daerah, dsb dibutuhkan orang yang professional.
Ketika PKS memiliki slogan “Bersih, Peduli dan Profesional”, maka seluruh rasa tersebut perlu melekat di diri seluruh kader, bukan hanya para qiyadahnya. Sepertinya rasa professional tersebut belum terlalu melekat didalam diri kader kita terutama di tingkat bawah, sehingga para qiyadah memberikan slogan “Bekerja untuk Indonesia”, “Bekerja dalam kebhinekaan untuk kemajuan bangsa” yang bisa diterjemahkan menjadi “Bekerja untuk RT 02”, “Bekerja untuk RW 07”, “Bekerja untuk Komplek…”, “Bekerja untuk Kota Tangerang.
Apakah kita yang dikenal di jamaah ini, juga dikenal oleh masyarakat dengan tingkatan/lingkup tertentu (RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota, Provinsi, Negara) ? Para qiyadah kita terus memacu kita melalui program-programnya : Robthul ‘am, penokohan, dll. Sudah sampai manakah progress kegiatan tersebut, dan dimanakah kita dalam program2 tersebut ?
Ini hanyalah sebagai bagian dari muhasabah terutama untuk diri pribadi tentang peran kita di masyarakat. Semoga kita terus berinteraksi di masyarakat dan mereka akan merasakan tentang kita.
Bayu Triatmadja
Sumber : www.islamedia.web.id
0 komentar